Kamis, 29 Agustus 2013


DAMPAK KERJASAMA APEC DALAM PEMBANGUNAN DAERAH SUMUT

1.      Latar Belakang
Konsep kerjasama negara multilateral maupun bilateral dewasa ini semakin mengemuka dalam percaturan lintas internasional baik di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Sebuah kerjasama lintas negara secara umum akan mendasarkan kesepakatannya sesuai dengan keuntungan resiprokal dan seimbang dari setiap negara yang menjalin kerjasama. Sesuai dengan buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI (Renstra), kerjasama internasional atau dapat disebut hubungan internasional adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional.
Di Indonesia sendiri kerjasama multilateral diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Nomor 00148/PL/II/2010/46/06 tentang Penetapan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Multilateral Tahun 2010-2014. Didalamnya sendiri telah diatur sasaran yang hendak dicapai dalam pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional dalam bidang multilateral, yaitu meningkatnya peran aktif Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional, pemajuan dan perlindungan HAM, kerjasama kemanusiaan serta meningkatnya pembangunan ekonomi, sosial budaya, keuangan, lingkungan hidup, perdagangan, perindustrian, investasi, komoditi, dan perlindungan hak kekayaan intelektual melalui penguatan kerjasama multilateral.
Secara khusus pemerintahan Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah menyusun strategi tahun 2010-2014 untuk melaksanakan berbagai kerjasama multilateral. Strategi tersebut antara lain :
1.      Meningkatkan partisipasi dan inisiatif Indonesia dalam forum-forum multilateral termasuk mengupayakan agar Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan multilateral.
2.      Mengidentifikasi dan mengkaji secara kritis, untuk kepentingan efisiensi, partisipasi Indoensia pada organisasi  kerjasama multilateral, dengan melihat manfaat langsung bagi  kepentingan nasional.
3.      Meningkatkan dukungan lintas sektoral dalam implementasi kerjasama multilateral.
4.      Mensinergikan partisipasi Indonesia di G-20 dengan partisipasi  Indonesia pada forum-forum lainnya. Selain untuk mensosialisasikan kesepakatan G-20 untuk mengamankan  implementasi komitmen G-20 di tingkat nasional, regional dan global, upaya ini juga ditujukan guna meningkatkan legitimasi G-20 dan mengurangi stigma G-20 sebagai forum yang eksklusif.
5.      Mengintensifkan diplomasi untuk pembentukan norma-norma internasional bagi produk-produk budaya, yang telah diawali dengan perjuangan untuk memasukan Batik sebagai World Intangible Heritage di UNESCO. Perjuangan diplomasi ke depan akan meliputi bidang akses dan pembagian keuntungan (access and benefit sharing) di berbagai fora, termasuk WIPO melalui Genetic Resources, Traditional Knowledge, and Folklore (GRTKF), WHO (untuk virus sharing), FAO, Convention on Biodiversity, dan WTO.
6.      Menyusun konsep kebijakan/grand design kerjasama Selatan-selatan.

Sampai saat ini, indonesia telah mengikatkan dirinya dalam berbagai kerjasama multilateral dalam bentuk berbagai organisasi internasional dan regional seperti APEC, WTO, ASEAN, G20 dan lain-lain. Namun, pernyataannya adalah jika sebuah prinsip kerjasama harus mendasarkan kepada kepentingan nasional dengan kata lain rakyat, Apakah selama ini rakyat Indonesia telah menikmati berbagai hasil kerjasama tersebut ??? Rakyat Indonesia masih terjebak dalam jurang kemiskinan, penggusuran-pengusuran masih terus terjadi baik di kota maupun didesa, perampasan hak masih menyelimuti seluruh kehidupan rakyat Indonesia. Apakah APEC sebagai organisasi kerjasama internasional yang dewasa ini semakin menampakkan wujudnya dihadapan rakyat, benar-benar mempunyai orientasi mensejahterakan rakyat Indonesia ??? Atau bahkan sebaliknya, hanya segelintir orang yang mempunyai modal (kapital) yang menjadi orientasi dari berbagai kerjasama APEC ??? Jika APEC tidak bisa memberikan manfaat bagi rakyat, mengapa harus kita pertahankan ???

2.      Siapakah APEC ???
Tahun 1989 melalui inisiatif negara-negara ekonomi maju di wilayah asia dan pasific seperti AS, China, Rusia, Australia, dan Kanada, mendeklarasikan sebuah organisasi kerja sama ekonomi dan perdagangan di wilayah asia dan pasific yaitu Asia Pasific Economic Coorperation. Organisasi yang beranggotakan 21 negara asia dan pasific ini merupakan forum kerja sama berbagai negara di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi. Sampai saat ini, APEC telah berhasil melaksanakan 20 kali pertemuan tingkat tinggi atau KTT APEC di berbagai negara anggotanya. Namun pada tahun 1994 di bogor merupakan catatan penting dalam perjalanannya, melalui pertemuan 21 anggota APEC telah menyetujui target pencapaian dalam kerja sama perdagangan dan investasi atau yang lebih dikenal sebagai Bogor Goals. Sehingga kemudian kesepakatan tersebut menjadi mainset setiap negara termasuk Indonesia untuk dapat menjalankan sistem ekonomi liberal.
Ditinjau dari segi demografis, APEC merupakan organisasi yang besar karena menaungi penduduk sekitar 2,7 milyar jiwa. Empat belas dari 21 Ekonomi Anggota APEC merupakan 40 Ekonomi pengekspor terbesar di dunia, sementara sembilan anggota APEC tercatat sebagai anggota G20. Selain itu, setiap tahun Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Menteri-Menteri lain hadir dalam pertemuan-pertemuan APEC. Kehadiran para Pemimpin dan Menteri APEC tersebut selama ini juga dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk melakukan pembahasan masalah-masalah bilateral dan regional. Para pimpinan negara tergabung dalam leadership APEC yang menjalankan rapat setiap 1 tahun sekali. Rapat tahunan APEC merupakan hasil dari penilaian dari Senior Oficial Meeting (SOM) yang kemudian dijadikan bahan untuk merumuskan kebijakan APEC oleh leadership.
Sampai saat ini APEC telah berperan penting dalam setiap agenda perdagangan multilateral. Di tahun 1994, APEC memberikan kontribusi signifikan bagi terselesaikannya Putaran Uruguay di bawah perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) serta berhasil menyepakati target kerja sama ekonomi dan perdagangan bersama seluruh anggota APEC yang termanifestasi dalam Bogor Goals. Keberhasilan ini telah mendorong terbentuknya organisasi perdagangan dunia WTO. Kini, forum kerja sama APEC dipandang sebagai salah satu arena kunci guna mendorong terselesaikannya Putaran Doha.
Mekanisme kerja APEC bermuara pada para Pemimpin Ekonomi APEC yang melakukan pertemuan setahun sekali dalam APEC Economic Leaders’ Meeting (AELM). Di bawah itu, para Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagangan APEC berkoordinasi dalam APEC Ministerial Meeting (AMM) menggariskan arah kerja sama kawasan. Hasil kesepakatan para Pemimpin Ekonomi dan Menteri APEC tersebut selanjutnya diterjemahkan oleh para Pejabat Tinggi (Senior Officials) APEC untuk dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan dan kelompok ahli masing-masing Ekonomi yang bertemu dalam berbagai Komite dan Kelompok Kerja di APEC. Di sisi lain para pengusaha-pengusaha monopoli besar diberbagai negara anggota APEC ikut serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan sektoral APEC khususnya dibidang usaha dan bisnis. Hal ini terlihat dengan adanya APEC Bussines Advisory Council (ABAC) yang beranggotakan 6 orang dari setiap negara, terdaftar dalam struktur organisasi APEC langsung dibawah AELM.
Di tahun 2013 ini, Indonesia menjadi kepanitian dan keketuaan pertemuan tahunan APEC atau KTT APEC ke 21 yang diselenggarakan mulai bulan Desember 2012-Oktober 2013 di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Manado, Medan, Bali. Keinginan yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk dapat menjamu para tamu luar negerinya, disikapi langsung oleh Presiden SBY melalui Keppres No. 22/2012 tentang Panitia Nasional Penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation XXI tahun 2013. Bahkan untuk memaksimalkan rangkaian kegiatan KTT APEC ke 21 di Indonesia, Presiden langsung menunjuk para kabinet menteri serta para kepala aparat keamanan Indonesia seperti Panglima TNI dan Kapolri untuk menjadi panitia demi terselenggaranya pertemuan tersebut.
Dalam rangkaian pertemuan KTT APEC tahun 2013 ini, Indonesia telah menyiapkan 12 sektor kerja sama yang akan dipromosikan dalam pertemuan awal APEC di Senior Meeting Office mulai bulan Januari-Juli 2013 di 3 kota besar di Indonesia (Jakarta-Surabaya-Medan). 12 sektor tersebut adalah  (1) mendukung sistem perdagangan multilateral dengan memastikan tercapainya hasil konkrit pada pertemuan tingkat Menteri WTO di Bali pada bulan Desember 2013; (2) pengembangan konektivitas Indonesia; (3) pembangunan dan investasi infrastruktur; (4) peningkatan daya saing global untuk sektor UMKM dan perempuan; (5) peningkatan kesejahteraan petani; (6) pengembangan model sistem kesehatan yang berkelanjutan; (7) mengarusutamakan isu-isu kelautan; (8) pengembangan produk berbasis pertanian untuk mendukung upaya pengurangan kemiskinan; (9) memfasilitasi kesiaptanggapan personel bencana alam; (10) mendorong kerja sama pendidikan lintas batas; (11) mendorong fasilitasi perjalanan untuk wisatawan; (12) dan hal-hal lain berkaitan dengan pengembangan kapasitas Indonesia dalam perdagangan internasional serta memastikan bahwa pasar internasional tetap terbuka bagi ekspor Indonesia. Pada pertemuan SOM III di Medan tanggal 22 Juni – 6 Juli 2013 telah disepakati 18 sektor kerja sama dan 12 diantaranya adalah kesemua sektor yang dipromosikan Indonesia diatas. Dan dipastikan 18 sektor tersebut akan di teruskan pada pertemuan WTO bulan desember mendatang di Bali.
Sejumlah kesepakatan yang telah dilahirkan dari berbagai pertemuan APEC yang telah terlaksana, merupakan program kerja setiap negara untuk menjalankan kerjasama multilateral. Hasil dari kerjasama tersebut haruslah bersifat balance dan resiprokal sesuai kepentingan nasional rakyat. Namun jika ditinjau dari berbagai karakter negara anggota APEC, menunjukkan ketidakseimbangan khususnya dalam hal kemajuan ekonomi. Terbukti,  keseluruhan negara anggota APEC yang berjumlah 21 negara, 12 diantaranya merupakan negara pengekspor terbesar di dunia. Artinya jelas bahwa dalam menjalankan kerjasama ekonomi perdagangan, APEC menciptakan ketidakseimbangan pembangunan ekonomi dalam bentuk perdagangan yang timpang. Negara-negara yang tidak mempunyai industri nasional seperti Indonesia, hanya akan menjadi pasar komoditas dan saham semata bagi negara-negara maju. Sebab barang-barang produk domestik tidak akan mampu menyaingi produk asing yang terus menerus datang membanjiri pasar dalam negeri, selain mempunyai kualitas yang bermutu tinggi juga memiliki jangkauan pemasaran yang luas diberbagai negeri. Selain itu, ditinjau dari jumlah kepemilikan modal atau finansial.  14 negara tersebut mempunyai modal yang jauh melampaui finansial dalam negeri. Terbukti seperti AS, China, Australia, Jepang, Canada, New Zeland mempunyai kurs valuta asing yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Berdasarkan data kurs valuta asing Bank Indonesia tanggal 22 Agustus 2013 menunjukkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang AS (USD) Rp. 10.849, China (CNY) Rp. 1.758, Jepang (JPY) Rp. 11.046, Australia (AUD) Rp. 9.747, Canada (CAD) Rp. 10.338, New Zealand (NZD) Rp. 8.504. Sehingga dalam menjalankan investasi ekonominya, ke 14 negara tersebutlah yang paling dominan dalam membangun aset-aset penunjang perekonomian mereka. Menjadikan negara-negara berkembang khususnya Indonesia menjadi ketergantungan terhadap negara maju yang memiliki kapital berlimpah ruah, layaknya negara yang dijajah namun secara tidak langsung (invisible hand)- setengah jajahan.
Skema ekonomi APEC, sengaja diciptakan oleh negara-negara ekonomi maju yang bersekutu dibawah pimpinan AS dalam menjalankan watak expansif, exploitatif, dan akumulatif modal,  untuk membagi dan mengelompokkan berbagai negara-negara setengah jajahan sebagai tompangan ekonomi mereka. Persekutuan tersebut berkembang dari keadaan ekonomi penghisapan mereka yang menimbulkan berbagai kontradiksi pokok dan antagonis baik antara rakyat sebagai korbannya, maupun sesama penguasa modal. Perang dunia ke I dan Perang dunia ke II adalah bukti bahwa persaingan bebas sebagai awal mula sistem kapitalisme ini berkembang, menciptakan pertentangan sengit yang berujung kepada perang universal yang sangat membunuh rakyat serta merugikan mereka. Sehingga, perkembangan tersebut melahirkan satu penguasa modal dunia (imperium-imperialisme) yang tetap mempertahankan sistem penghisapan modal eksis menghisap rakyat seluruh dunia secara monopoli. Perang dingin antara blok timur Uni-Soviet dan blok barat Amerika Serikat, yang diakhiri oleh kemenangan penuh Amerika Serikat tahun 1991, membuktikkan bahwa sistem penghisapan modal (kapitalisme) didunia saat ini dibawah dominasi penuh AS (Imperialisme).
Dalam melancarkan aksi agresi mereka ke berbagai negeri subur sebagai syarat majunya perekonomianya imperialisme, secara masif mereka mengintervensi pemerintahan dalam negeri dengan cara melahirkan kaki tangan sistem imperialisme pimpinan AS yang tunduk setia terhadap kepentingannya. Tuan-tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador merupakan wujud dari kaki tangannya di dalam negeri. Bagaimana tidak, imperialisme yang mempunyai 3 kepentingan pokok atas negeri subur yaitu pasar, tenaga kerja, dan bahan mentah (SDA). Dengan adanya para tuan tanah dan borjuasi besar komprador (pemilik modal besar) akan sangat mudah mengakses lahan subur di dalam negeri untuk dihisap dan dimonopoli oleh mereka. Berdasarkan data Media Perkebunan menyebutkan PTPN sebagai perkebunan terbesar di Indonesia yang memiliki lahan 1 juta Ha yang sudah tertanam, dimana produksi CPO mencapai angka 3 juta ton dan karet 500.000 ton. Melalui penguasaan lahan terbesar di Indonesia ini, PTPN mensuply jutaan ton bahan mentah ke berbagai perusahaan milik imperialisme yang tersebar di berbagai negara untuk diolah menjadi barang-barang kebutuhan masyarakat dunia.
Melalui skema-skema kerjasama perdagangan dan investasi ekonomi, imperialisme melancarkan kepentingannya di belahan dunia. Organisasi-organisasi tersebut sengaja diciptakan untuk menjerat negara-negara subur masuk kedalam lingkaran penghisapan imperialisme. APEC sebagai organisasi asia dan pasifik yang bertujuan dalam kerjasama investasi ekonomi dan perdagangan, jelaslah sudah hanya sebagai skema imperialisme pimpinan AS untuk mengatur dan mengelompokkan lahan penghisapan mereka melalui berbagai perjanjian kerjasama yang timpang. Rakyat terus dijadikan korban atas ketertundukkan dan keberpihakkan pemerintah (kapitalis birokrat) terhadap setiap kepentingan imperialisme melalui peraturan-peraturan anti rakyat.

3.      Kerjasama APEC Bukan Untuk Rakyat
Rangkaian pertemuan KTT APEC ke 21 yang diselenggarakan di Indonesia, telah banyak merumuskan berbagai kesepakatan khususnya dalam bidang investasi ekonomi dan perdagangan. Pada pertemuan SOM III APEC tanggal 22 juni- 6 Juli di Kota Medan telah menyepakati 18  point kerjasama. Hasil dari pertemuan SOM III tersebut telah mencapai 75 % dari konsep utama yang akan disodorkan pada pertemuan puncak KTT APEC ke 21 di Bali (High Leadership Meeting) dan kemudian diteruskan pada pertemuan WTO bulan Desember mendatang. Hal ini diutarakan oleh Ketua SOM III, Yuri O Thamrin. Rentetan pertemuan SOM APEC yang dilaksanakan di Indonesia, sebagai awal penilaian dan perumusan perjanjian kerjasama APEC memprioritaskan 3 masalah utama bagi Indonesia yaitu, capaian cita-cita Bogor, pemerataan keuntungan dalam liberalisasi dan perdagangan, serta pengembangan kapasitas dan konektivitas investasi ekonomi. Ketiga masalah prioritas ini bagi Indonesia akan diselaraskan dengan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Program pembangunan konektivitas investasi ekonomi yang telah dimanifestasikan ke dalam 18 point kesepakatan kerjasama APEC semakin menampakkan wujudnya ketika khususnya kota Medan mulai dibangun berbagai infrastruktur penunjang investasi ekonomi dan perdagangan. Untuk saat ini saja dapat terlihat di beberapa proyek pembangunan infrastruktur ekonomi yang sudah digulirkan seperti pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke yang dibangun diatas lahan seluas sekitar 2000 Ha. Pembangunan infrasturktur konektivitas ekonomi perdagangan Bandara Internasional Kuala Namu yang menyita lahan seluas 1.365 Ha. Namun pembangunan-pembangunan mega proyek tersebut telah mengabaikan kebutuhan dasar rakyat Indonesia di bidang ekonomi. Rakyat indonesia saat ini masih membutuhkan modal dasar yang bersumber dari basis ekonomi Indonesia yaitu agraria sebagai syarat membangun industri nasional. Kepemilikan tanah yang masih timpang dalam kehidupan rakyat, masih menjadi problem utama untuk membangun perekonomian rakyat. Sehingga berbagai pembangunan infrastruktur ekonomi bukanlah berorientasi kepada rakyat, melainkan kepada para pemilik modal yang memonopoli seluruh aset perekonomian Indonesia di dalam negeri untuk melanggengkan sistem penghisapan imperialisme pimpinan AS.
Penghisapan atas kehidupan rakyat Indonesia dengan kedok pembangunan semakin terang wujudnya khususnya di Kota Medan, dimana kasus penyerobotan lahan PT. KAI sekitar 7 Ha oleh pihak swasta PT. ACK selaku pihak yang mengambil alih lahan negara untuk memberi ruang kepada investor asing menanamkan sahamnya di Indonesia. Berdasarkan Surat Mentri Keuangan no:S-1069/HK.03/1990 tertanggal 4 September 1990 dan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional no: 530.22-134 tertanggal 9 Januari 1991 telah menegaskan bahwa kepemelikan lahan yang terletak di jalan jawa dan jalan timur yang dulunya digunakan sebagai komplek perumahan karyawan PT. KAI dan lahan parkir KA adalah kepemilikan PT. KAI. Namun dengan ketertundukan pemerintah (kapitalis birokrat) terhadap kepentingan ekonomi asing atas sumber daya alam dan rakyat Indonesia, secara mudah memberikan hak kepemilikan kepada swasta PT. Arga Citra Kharisma melalui SK MA RI Nomor 1040 K/PDT/2012 tertanggal 5 November 2012 guna membangun pusat perbisnisan ekonomi Centre Point seperti Mall, Hotel, Rumkit, dan komplek pertokoan. Rakyat yang dulunya hidup diatas tanah seluas 7 Ha tersebut akhirnya terpaksa harus terusir demi memuaskan kepentingan perusahaan-perusahaan monopoli asing yang membangun infrastruktur-infrastruktur ekonominya. Selain itu imbas dari pembangunan tersebut juga akan membunuh lahan ekonomi pasar rakyat yang masih bersifat tradisional karena tersaingi oleh pasar modern milik perusahaan-perusahaan besar monopoli asing.
Dampak lain dari kesepakatan kerjasama APEC juga berimbas kepada beberapa sektor rakyat lainnya seperti pendidikan yang mahal dan terbelakang, jaminan kesehatan yang semakin rumit dan mahal, serta kepastian hukum bagi rakyat yang tumpang tindih. Kesemua dampak tersebut tersirat dalam beberapa kesepakatan kerjasama APEC yang tidak berimbang dan tidak berorientasi pada rakyat. Dengan ketertundukkan pemerintah atas kepentingan asing imperialisme, maka setiap pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah bahkan tidak jarang dilegitimasi secara hukum, bukanlah untuk membangun perekonomian rakyat. Rakyat hanya dijadikan korban atas sistem penghisapan imperialisme melalui skema organisasi internasional dan regional.

Junk APEC !!!
Fight Imperialism !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar