Kamis, 29 Agustus 2013


ANCAMAN PENGGUSURAN OLEH BUPATI LABUHAN BATU UTARA TERHADAP MASYARAKAT KAMPUNG SIDOMUKTI

            Indonesia adalah negara agraria dimana basis perekonomiannya terletak di sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini dibuktikan 60% profesi masyarakat indonesia masih ditempati oleh petani miskin yang menggantungkan hidupnya dengan luas lahan sekitar 0,5 Ha serta buruh tani yang berpenghasilan rata-rata Rp. 28.582 perbulan (Data berdasarkan peninjauan BPS tahun 2012). Namun secara esensinya bahwa basis perekonomi negara Indonesia terletak di sektor agraria sehingga hal ini menunjukkan potensi terbesar untuk membangun kedaulatan rakyat indonesia bersumber dari petani.
Selain itu juga kekayaan yang terkandung dalam tanah Indonesia sangat berlimpah ruah, baik di bidang migas, pertambangan, serta mineral. Data Tempo bisnis dan Petrominas 2011 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 168 sumur migas, namun 148 diantaranya sumur migas tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas besar monopoli dunia, seperti Sheel, Total Oil, Schulumberger, Exon Mobile, dll.
            Keadaan dewasa ini yang terjadi di sektor agraria Indonesia adalah penguasaan tanah yang timpang atas masyarakat. Wujud konkret dari ketimpangan kepemilikan tanah Indonesia adalah masih eksisnya tuan-tuan tanah di pedesaan dalam berbagai bentuk baik negara, swasta asing maupun lokal, dan klasik, yang memonopoli tanah secara luas. Wujud ini diinamakan sebagai feodalisme sebab bersumber dari sisa corak ekonomi zaman kerajaan yang ditandai oleh kepemilikan seluruh tanah oleh raja. Di sumatera utara sendiri monopoli atas tanah menunjukkan angka yang begitu besar sekitar 1.017.570 Ha dari seluruh tanah di sumatera utara. Hal inilah berakibat stagnan dan hancurnya perkembangan ekonomi masyarakat, seluruh masyarakat tidak mempunyai luas tanah yang cukup untuk membangun perekonomiannya. Bahkan luas tanah yang dimiliki oleh petani secara mayoritas semakin mengecil, diakibatkan oleh keinginan jahat para perusahaan besar monopoli asing berkepentingan untuk menguasai seluruh tanah rakyat agar menjadi sumber bahan mentah sebagai syarat keutungan besar perusahaan-perusahaan besar monopoli asing atau imperialisme. Berdasarkan data yang terangkum dari Poldasu, dalam kurun waktu 2005-2011 telah terjadi 2.883 kasus sengketa lahan. Selain itu data yang terangkum dari Kementan secara nasional para petani di bidang persawahan mengalami pengecilan luas lahan setiap tahunnya, dari tahun 2007 sampai 2010 luas persawahan dari 4,1 juta Ha menjadi 3,5 juta Ha.
            Ditahun 2013 ini tepatnya pada bulan Ramadhan lalu, terjadi kembali ancaman atas penggusuran tanah terhadap masyarakat desa Sidomukti Kabupaten Labuhan Batu Utara. Secara kronologis ancaman penggusuran ini terjadi dari Kabar yang tersiar langsungi mulut bupati Labuhan Batu Utara ketika terselenggaranya Safari Ramadhan di desa Panigoran dan Aek Korsik, bahwa masyarakat akan digusur setelah pelaksanaan perayaan hari raya idul fitri. Pernyataan bupati Labura ini membuat kerabat dan sanak family dari para pejuang Kampung Baru Sidomukti emosional, ada diantara kerabatnya yang siap akan melakukan pembelaan dengan berbagai cara walaupun nyawa melayang, ada yang menangis ketakutan, ada yang mencibir bupati, ada yang bilang pernyataan tersebut tidak sewajarnya dilontarkan oleh Bupati ditengah acara safari ramadhan dan berbagai respon lainnya.
Sikap dan ambisi Bupati untuk melakukan penggusuran warga di Kampung Baru Sidomukti bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Bupati beralasan masyarakat tidak punya dasar dan mengganggu perusahaan PT.Smart Corporation (Sinar Mas Group) dalam menjalankan usahanya. Padahal jika ditelaah lebih jauh berdasarkan bukti sejarah dan administratif, sebagian besar warga yang tinggal di sekitar perkebunan menyampaikan bahwa masyarakat mendiami kampung baru Sidomukti karena punya dasar.
Secara de facto (kenyataan) sejarah, lahan yang saat ini di usahai oleh PT.Smart Corporation dengan tanaman sawit merupakan tanah perkampungan dan perladangan milik rakyat. Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, tanah-tanah eks perkebunan asing di nasionalisasi oleh rakyat berdasarkan seruan presiden Soekarno. Tanah-tanah tersebut dibagi secara rata oleh rakyat untuk kebutuhan tanaman pangan dan penyedia logistik untuk laskar rakyat. Sebanyak lebih kurang 3.000 Ha tanah dibagi dengan pembagian setiap Kepala Keluarga mendapatkan 2 Ha tanah. Dari situlah areal perkebunan Padang Halaban dibagi menjadi beberapa desa, diantaranya : Desa Karanganyar, Desa Sidomulyo, Desa Sidodadi/Aek Korsik, Desa Purworejo/Aek Lidong, Desa Kertosentono/Brussel, dan Desa Sukadame/Panigoran.
Setelah 9 tahun mengelola tanah dikeluarkanlah surat keterangan pendudukan tanah oleh Kantor Reorganisasi Pendaftaran Tanah (KRPT) tahun 1954-1956 berdasarkan UU Darurat No.08 tahun 1954. Selama itu pula mayarakat mengembangkan produksi tanaman pangan untuk kebutuhan pribadi maupun untuk di beberapa kota besar, seperti di Rantau Prapat, Aek Kanopan dan Kisaran. Sering dengan terpenuhinya kebutuhan pangan warga, berkembang juga kerukunan dan kebudayaan masyarakat. Sampai pada akhirnya di tahun 1965 terjadi peristiwa penculikan beberapa kepala desa ditas perkebunan Padang Halaban yang dilanjutkan kemudian pada tahun 1969-1970 terjadi penggusuran rumah dan tanaman warga oleh perkebunan dan pemerintah, di bekingi oleh aparat bersenjata. Rakyat dianiaya, diteror, di takut-takuti, di perkosa bahkan di bunuh dalam proses selama 1965-1969 tanpa tahu apa alasannya sampai sekarang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, tidak semestinya masyarakat yang berjuang meminta haknya kembali dengan membangun Kampung Baru Sidomukti untuk digusur oleh siapapun juga. Jika penggusuran terhadap kampung tetap dilakukan, maka para petani kembali menjadi korban atas hasrat jahat imperialisme meraup keutungan sebesar-besar atas negara Indonesia. Artinya bahwa kedaulatan rakyat akan semakin jauh dari bangsa ini, kesejahteraan akan menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.
Oleh karena itu, kami Front Mahasiswa Nasional mengutuk ancaman penggusuran tersebut yang dilakukan oleh Bupati Labura atas masyarakat desa Sidomukti. Serta menuntut berikan hak penguasaan atas tanah kepada seluruh petani yang dulu pernah dirampas oleh pemerintah maupun swasta, distribusikan tanah kepada petani sebagai syarat dari kesejahteraan bangsa Indonesia.


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar