ANCAMAN PENGGUSURAN OLEH BUPATI
LABUHAN BATU UTARA TERHADAP MASYARAKAT KAMPUNG SIDOMUKTI
Indonesia adalah negara agraria
dimana basis perekonomiannya terletak di sektor pertanian dan perkebunan. Hal
ini dibuktikan 60% profesi masyarakat indonesia masih ditempati oleh petani
miskin yang menggantungkan hidupnya dengan luas lahan sekitar 0,5 Ha serta
buruh tani yang berpenghasilan rata-rata Rp. 28.582 perbulan (Data berdasarkan
peninjauan BPS tahun 2012). Namun secara esensinya bahwa basis perekonomi negara
Indonesia terletak di sektor agraria sehingga hal ini menunjukkan potensi
terbesar untuk membangun kedaulatan rakyat indonesia bersumber dari petani.
Selain itu juga kekayaan yang terkandung dalam tanah Indonesia sangat berlimpah ruah, baik di bidang migas, pertambangan, serta mineral. Data Tempo bisnis dan Petrominas 2011 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 168 sumur migas, namun 148 diantaranya sumur migas tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas besar monopoli dunia, seperti Sheel, Total Oil, Schulumberger, Exon Mobile, dll.
Selain itu juga kekayaan yang terkandung dalam tanah Indonesia sangat berlimpah ruah, baik di bidang migas, pertambangan, serta mineral. Data Tempo bisnis dan Petrominas 2011 menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 168 sumur migas, namun 148 diantaranya sumur migas tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan migas besar monopoli dunia, seperti Sheel, Total Oil, Schulumberger, Exon Mobile, dll.
Keadaan dewasa ini yang terjadi di
sektor agraria Indonesia adalah penguasaan tanah yang timpang atas masyarakat. Wujud
konkret dari ketimpangan kepemilikan tanah Indonesia adalah masih eksisnya
tuan-tuan tanah di pedesaan dalam berbagai bentuk baik negara, swasta asing
maupun lokal, dan klasik, yang memonopoli tanah secara luas. Wujud ini
diinamakan sebagai feodalisme sebab bersumber dari sisa corak ekonomi zaman
kerajaan yang ditandai oleh kepemilikan seluruh tanah oleh raja. Di sumatera
utara sendiri monopoli atas tanah menunjukkan angka yang begitu besar sekitar
1.017.570 Ha dari seluruh tanah di sumatera utara. Hal inilah berakibat stagnan
dan hancurnya perkembangan ekonomi masyarakat, seluruh masyarakat tidak
mempunyai luas tanah yang cukup untuk membangun perekonomiannya. Bahkan luas
tanah yang dimiliki oleh petani secara mayoritas semakin mengecil, diakibatkan
oleh keinginan jahat para perusahaan besar monopoli asing berkepentingan untuk
menguasai seluruh tanah rakyat agar menjadi sumber bahan mentah sebagai syarat
keutungan besar perusahaan-perusahaan besar monopoli asing atau imperialisme.
Berdasarkan data yang terangkum dari Poldasu, dalam kurun waktu 2005-2011 telah
terjadi 2.883 kasus sengketa lahan. Selain itu data yang terangkum dari Kementan
secara nasional para petani di bidang persawahan mengalami pengecilan luas
lahan setiap tahunnya, dari tahun 2007 sampai 2010 luas persawahan dari 4,1
juta Ha menjadi 3,5 juta Ha.
Ditahun 2013 ini tepatnya pada bulan
Ramadhan lalu, terjadi kembali ancaman atas penggusuran tanah terhadap
masyarakat desa Sidomukti Kabupaten Labuhan Batu Utara. Secara kronologis
ancaman penggusuran ini terjadi dari Kabar
yang tersiar langsungi mulut bupati Labuhan Batu Utara ketika terselenggaranya
Safari Ramadhan di desa Panigoran dan Aek Korsik, bahwa masyarakat akan digusur
setelah pelaksanaan perayaan hari raya idul fitri. Pernyataan bupati Labura ini
membuat kerabat dan sanak family dari para pejuang Kampung Baru Sidomukti emosional,
ada diantara kerabatnya yang siap akan melakukan pembelaan dengan berbagai cara
walaupun nyawa melayang, ada yang menangis ketakutan, ada yang mencibir bupati,
ada yang bilang pernyataan tersebut tidak sewajarnya dilontarkan oleh Bupati
ditengah acara safari ramadhan dan berbagai respon lainnya.
Sikap dan ambisi
Bupati untuk melakukan penggusuran warga di Kampung Baru Sidomukti bagaikan
petir yang menyambar di siang bolong. Bupati beralasan masyarakat tidak punya
dasar dan mengganggu perusahaan PT.Smart Corporation (Sinar Mas Group) dalam
menjalankan usahanya. Padahal jika ditelaah lebih jauh berdasarkan bukti
sejarah dan administratif, sebagian besar warga yang tinggal di sekitar
perkebunan menyampaikan bahwa masyarakat mendiami kampung baru Sidomukti karena
punya dasar.
Secara de facto
(kenyataan) sejarah, lahan yang saat ini di usahai oleh PT.Smart Corporation
dengan tanaman sawit merupakan tanah perkampungan dan perladangan milik rakyat.
Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, tanah-tanah eks
perkebunan asing di nasionalisasi oleh rakyat berdasarkan seruan presiden
Soekarno. Tanah-tanah tersebut dibagi secara rata oleh rakyat untuk kebutuhan
tanaman pangan dan penyedia logistik untuk laskar rakyat. Sebanyak lebih kurang
3.000 Ha tanah dibagi dengan pembagian setiap Kepala Keluarga mendapatkan 2 Ha
tanah. Dari situlah areal perkebunan Padang Halaban dibagi menjadi beberapa
desa, diantaranya : Desa Karanganyar, Desa Sidomulyo, Desa Sidodadi/Aek Korsik,
Desa Purworejo/Aek Lidong, Desa Kertosentono/Brussel, dan Desa
Sukadame/Panigoran.
Setelah 9 tahun
mengelola tanah dikeluarkanlah surat keterangan pendudukan tanah oleh Kantor
Reorganisasi Pendaftaran Tanah (KRPT) tahun 1954-1956 berdasarkan UU Darurat
No.08 tahun 1954. Selama itu pula mayarakat mengembangkan produksi tanaman
pangan untuk kebutuhan pribadi maupun untuk di beberapa kota besar, seperti di
Rantau Prapat, Aek Kanopan dan Kisaran. Sering dengan terpenuhinya kebutuhan
pangan warga, berkembang juga kerukunan dan kebudayaan masyarakat. Sampai pada
akhirnya di tahun 1965 terjadi peristiwa penculikan beberapa kepala desa ditas
perkebunan Padang Halaban yang dilanjutkan kemudian pada tahun 1969-1970
terjadi penggusuran rumah dan tanaman warga oleh perkebunan dan pemerintah, di
bekingi oleh aparat bersenjata. Rakyat dianiaya, diteror, di takut-takuti, di
perkosa bahkan di bunuh dalam proses selama 1965-1969 tanpa tahu apa alasannya
sampai sekarang.
Berdasarkan hal
tersebut diatas, tidak semestinya masyarakat yang berjuang meminta haknya
kembali dengan membangun Kampung Baru Sidomukti untuk digusur oleh siapapun
juga. Jika penggusuran terhadap kampung tetap dilakukan, maka para petani
kembali menjadi korban atas hasrat jahat imperialisme meraup keutungan
sebesar-besar atas negara Indonesia. Artinya bahwa kedaulatan rakyat akan
semakin jauh dari bangsa ini, kesejahteraan akan menjadi mimpi yang jauh dari
kenyataan.
Oleh karena itu,
kami Front Mahasiswa Nasional mengutuk ancaman penggusuran tersebut yang dilakukan oleh Bupati Labura
atas masyarakat desa Sidomukti. Serta menuntut berikan hak penguasaan atas
tanah kepada seluruh petani yang dulu pernah dirampas oleh pemerintah maupun
swasta, distribusikan tanah kepada petani sebagai syarat dari kesejahteraan
bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar